Generasi EPIC

      1 Comment on Generasi EPIC

*) Tulisan ini dikutip dari buku elektronik tulisan Tim Elmore “What Students Wish Teachers and Parents Knew About Teaching

Beberapa pendeta, pengajar Kristen, bahkan dosen-dosen teologia melarang jemaat dan mahasiswanya untuk membaca Alkitab dalam bentuk aplikasi gadget. Seringkali yang mereka katakan adalah itu bukan Alkitab, itu hanyalah handphone yang diisi Alkitab. Alkitab adalah lembar demi lembar kertas itu. Itulah pendapat mereka.

Meski bisa memahami alasan mereka, saya cukup menyayangkan sikap rekan-rekan sepelayanan saya itu. Kalau saya berkhotbah di persekutuan-persekutuan mahasiswa, ketika saya mengajak mereka membaca Alkitab, mereka akan langsung membuka gadgetnya. Generasi muda masa kini jauh berbeda dengan generasi kami para pengajar, dosen, dan gembala-gembala Gereja.

Salah satu hal yang sering saya tanyakan waktu berkhotbah adalah apakah mereka rutin membaca Alkitab. Yang saya temukan adalah sebenarnya mereka sangat ingin membaca Alkitab, tetapi tampilan Alkitab yang lembar demi lembar kertas dengan tulisan berderet-deret tu tidak menarik bagi mereka. Mereka jelas mencintai Alkitab, tetapi mereka tidak menyukai packaging-nya. Jangan mengharapkan generasi ini seperti kita yang bisa membuka dan membaca dengan tekun ribuan lembar teks tertulis itu. Mereka berbeda atau lebih tepat dikatakan mereka unik – sebagaimana Tuhan menciptakan mereka.

Saya seringkali mengatakan bahwa Alkitab tetaplah Alkitab – dalam bentuk apapun – baik itu dalam lembaran papirus, kertas-kertas yang dicetak, hiasan dinding, di dalam komputer ataupun gadget. Di banyak negara yang tertutup akan kekristenan, salah satu akses terhadap Alkitab adalah melalui aplikasi-aplikasi di komputer atau internet. Satu lembar Alkitab yang disobek untuk bungkus sayuran di Iran telah membuat satu orang datang kepada Kristus. Seberapa sering Anda mengirimkan pesan singkat berisi ayat Alkitab lewat SMS handphone Anda? Apakah itu tidak termasuk Firman Tuhan?

Dalam tulisan ini saya ingin menunjukkan bagaimana begitu berbedanya generasi ini, dan sekaligus mendorong Anda yang terpanggil untuk melayani gerenasi ini untuk menemukan pendekatan yang apik untuk mereka.

EPIC Generation – itulah bagaimana Leonard Sweet menyebut generasi ini dalam karyanya Post-Modern Pilgrims: First Century Passion for the 21st Century World. E-P-I-C merupakan sebuah akronim.

E – Experiental

Kita tidak bisa mengajar generasi ini jika tidak melibatkan mereka untuk mengalami sendiri pengalaman yang memungkinkan untuk mengingat apa yang kita ajarkan. Generasi ini ingin melihat sesuatu, melakukan dan mengalami pengalaman, bukan sekedar mendengarkan saja.

Generasi ini menerima begitu banyak informasi yang berlomba merebut perhatian mereka. Daya tangkap mereka sangat besar dan kuat, dan hanya pengalaman yang tertanam kepada mereka itulah yang akan bertahan paling lama.

Jika pengajaran kita, materi perkuliahan yang kita berikan, khotbah-khotbah yang kita sampaikan kepada generasi ini hanya melibatkan pendengaran mereka, jelas tidak akan bertahan lama. Penelitian membuktikan bahwa kita melupakan 90-95% yang kita dengar hanya dalam waktu 72 jam. Artinya sebaik apapun saya mempersiapkan khotbah dan menyampaikannya di hari Minggu, di hari Rabu mereka hanya ingat 5% saja. Materi perkuliahan yang hanya mereka dengar di hari Senin, akan tersisa 5-10% di hari Kamis.

Terkhusus bagi generasi ini, pengalaman – apa yang mereka pelajari dari mengalami dan melakukan – adalah yang paling berpengaruh dan bertahan lama. Silakan googling dengan kata kunci Dale’s Cone of Experience, Anda akan menemukan fakta tentang ini.

P – Participatory

Ini adalah generasi yang mengunggah (upload) pikiran-pikirannya. Mereka mengharapkan diberikan kesempatan untuk terlibat dalam banyak hal, mengekspresikan diri mereka, dan berpartisipasi untuk mendapatkan sebuah hasil.

Meledaknya sosial media internet adalah bukti dari hal ini. Dengan sosial media, generasi ini mengekspresikan diri mereka, terlibat dalam banyak diskusi, ikut serta dalam petisi-petisi online. Apa yang kita sebut sebagai “curhat” online tidak bermutu hanyalah keinginan mereka untuk mengekspresikan diri dan berpartisipasi yang tidak tertampung dengan baik. Dan tahukah Anda siapa para pencipta sosial media online ini? Kebanyakan mereka adalah generasi muda zaman ini.

Saya sering mendapat pertanyaan dari orang tua dan para pengajar serta guru-guru, bagaimana murid, anak-anak, dan mahasiswa mereka bisa begitu asyik dengan Facebook sementara para orang tua ini sama sekali tidak tertarik bahkan tidak bisa mengaksesnya. Hei … mereka ini generasi yang berbeda dengan kita. Keinginan berpartisipasi ini “kebetulan” mereka bisa lampiaskan melalui sosial media.

Tahukah Anda, di Indonesia saja tercatat ada 30,1 juta pemilik akun Facebook, itu nomor dua di dunia. Ada 6,2 juta pengguna Twitter, itu nomor 3 se-Asia dengan aktivitas online tertinggi di seluruh dunia. Dari 200-an juta penduduk Indonesia, 45 juta di antaranya aktif mengakses internet. Diperkirakan sekitar 150-180 juta menggunakan handphone dan menjadikannya sebagai salah satu benda primer. Dan di antara angka-angka itu ada anak-anak kita, murid kita, mahasiswa kita, dan juga jemaat muda kita. Dalam hal dunia sosial media, statistik di atas sangat wow!

I – Image Rich

Saat kita berkomunikasi dengan generasi ini menggunakan hanya kata-kata, kita mengaktifkan otak kiri mereka dan hal ini mengundang terjadinya argumen. Ketika kita menggunakan gambar (atau penggambaran) dalam komunikasi, kita merangsang otak kanan mereka dan menarik mereka untuk terbuka bercerita dan berbincang-bincang. Generasi ini jelas generasi yang visually-oriented.

Sepertinya gambar merupakan cara paling kuno dari manusia untuk berkomunikasi. Penemuan gambar ikon di gua-gua, di bangunan pra-sejarah, merupakan buktinya. Bukan tanpa alasan kalau Tuhan Yesus menggunakan kekuatan penggambaran (perumpamaan) dalam pengajaran-Nya. Leonard Sweet mengatakan bahwa gambar – bukannya kata-kata – adalah bahasa di abad XXI.

Ini seperti yang di atas saya tuliskan. Alkitab yang tersusun atas lembar-lembar tulisan itu jelas tidak visual bagi generasi ini. Kalaupun mereka bisa memvisualisasikan (=membayangkan) apa yang tertulis di Alkitab, bahasa yang dipergunakan banyak membingungkan mereka. Bagi generasi ini, aplikasi Alkitab di gadget mereka jelas lebih image-rich. Tampilan tombol-tombol yang dirancang memang untuk menarik secara visual – selain tentu saja mempermudah, tulisan yang berwarna-warni, belum lagi akses kepada puluhan terjemahan yang berbeda memperkaya penggambaran mereka akan Alkitab.

C – Connected

Generasi ini adalah generasi yang selalu ingin berhubungan dengan orang lain – termasuk dengan Anda. Ini adalah generasi terkoneksi, baik secara sosial maupun teknologi. Generasi ini tidak senang melakukan segala sesuatu sendirian. Ini menjelaskan mengapa anak-anak kita bisa begitu asyik dengan gadget mereka mengakses Facebook atau chatting dengan BBM. Kita menyebut mereka sebagai generasi asosial. Salah besar! Malahan sebaliknya, mereka selalu ingin terhubung dengan dunia. Generasi ini tidak senang mengerjakan tugas individu, mereka lebih terpikat mengerjakan proyek di mana mereka bisa terhubung dengan banyak orang.

Jelas kan, selain ada jarak usia antara kita dengan gerenasi ini, ada gap pola pikir juga antara kita dengan mereka. Jika Anda adalah pendeta atau gembala yang melayani anak-anak, remaja, atau pemuda, jika Anda adalah guru atau dosen, jika Anda adalah orang-orang yang mengabdikan diri untuk melayani generasi ini, saya mendorong Anda untuk mengevaluasi pendekatan, pola pengajaran, dan pelayanan kita kepada mereka. Berhenti membandingkan mereka dengan generasi kita. Selain tentu saja ada faktor lingkungan, faktor perkembangan zaman, dan yang lainnya, saya yakin bahwa Tuhan memang merancang dan menciptakan generasi ini unik, berbeda dengan yang lain. Selamat melayani generasi ini.

=======<0>=======

Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.

CC BY-NC-SA 4.0 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

1 thought on “Generasi EPIC

  1. Pingback: Gawai bukan segalanya - Martianus' Blog

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Captcha * Time limit is exhausted. Please reload CAPTCHA.