
Seberapa sering kita mendengar pernyataan ini? “Saya masuk ke pelayanan, karena saya ingin mengubah gereja ini dari dalam”. Hari ini saya punya alasan untuk mengatakan kalau pernyataan itu omong kosong. Sehebat itukah Anda hingga berpikir bisa mengubah gereja dari dalam? Mohon izin untuk tertawa ya.
Karena pada akhirnya, mengubah dari dalam itu hanyalah mimpi yang tidak jelas kapan menjadi kenyataan. Itu hanyalah omong kosong jika manajemen kepemimpinan gereja memang sudah bobrok.
Masih ingat ketika saya mengkhotbahkan tentang Paulus yang menjadi oposisi? Bisa dibaca di blog ini, judulnya “Ketika Paulus Menjadi Oposisi”. Lihat saja bagaimana Petrus yang menjadi pemimpin gereja pada masa itu, pun akhirnya terseret kepada bobroknya kepemimpinan gereja di masa itu. Petrus rupanya memang tidak sekuat batu karang kok.
Ceritanya pada masa itu para pemimpin gereja di Yerusalem memaksakan kepada jemaat bukan Yahudi untuk mempraktikkan juga adat Yahudi sebagai bagian dari iman Kristen. Termasuk dalam hal makan minum.
Kisah ini dimulai dari kunjungan Petrus ke jemaat di Antiokhia. Pada mulanya, Petrus mau-mau saja bergaul dan makan bersama dengan jemaat bukan Yahudi. Tetapi ketika rombongan orang Yahudi dari Yerusalem datang ke Antiokhia, Petrus menjaga jarak dengan jemaat bukan Yahudi. Jangan salah, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi ini sama-sama percaya kepada Kristus.
Alkitab terjemahan the Message menyebut orang-orang Yahudi dari Yerusalem ini sebagai “conservative group”. Heh … rupanya kelompok konservatif semacam ini sudah ada sejak gereja mula-mula. Saya akan terbuka menyebut mereka ini sebagai pemimpin-pemimpin gereja kolot.
Petrus menjaga jarak dari jemaat bukan Yahudi karena — ini tulisan Alkitab terjemahan New Living Translation — “he was afraid of criticism from these people”. Pada akhirnya, Petrus pun takut akan pandangan dari kaum konservatif ini. Bagi Petrus, pandangan pemimpin gereja lainnya kepada dirinya, lebih penting daripada hati Kristus kepada jemaat bukan Yahudi ini.
Boleh lah keinginan Anda untuk mengubah gereja dari dalam, tapi kenyataannya ini yang saya lihat:
- Anda kehilangan idealisme Anda, dan terseret dengan apa yang sebenarnya ingin Anda lawan. “Lhah ternyata orang lain boleh melakukan yang salah, berarti saya boleh juga ‘kan,” itu kata hati Anda.
- Anda mempertahankan idealisme Anda, dan Anda menjadi orang yang “tersingkirkan”, yang pada akhirnya tidak bisa melakukan apapun.
- Anda mempertahankan idealisme Anda di dalam hati, tetapi memilih diam.
Kalau memang demikian, buat apa mengubah dari dalam? Mana yang lebih efektif, mana yang lebih bermakna, mengubah dari dalam atau berjuang dari luar?
Kalau begitu, bagaimana saya bisa mengubah gereja? UBAH DULU DIRIMU!
=======<0>=======
Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.