Isolasi mandiri: Jangan nunggu positif!

Ini cerita lengkap ketika saya melakukan isolasi mandiri, beserta dengan beberapa hal yang saya rasa perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Lhoh, siapa tahu ada dari pemerintahan yang membaca tulisan ini toh.

Poin penting, meski saya melakukan isolasi mandiri, dari hasil tes antigen dan tes PCR, keduanya menunjukkan negatif Covid-19.

Kisah indah ini dimulai pada tanggal 18 Februari 2022, saya dengan beberapa kawan kantor melayat. Sabtu, 19 Februari 2022 pagi, atasan kami kirim WA menunjukkan ada pemberitahuan dari Puskesmas bahwa anak dari almarhum ternyata positif Covid-19. Pertanyaan yang muncul, apakah kami akan kena tracing? Jawaban saya, seharusnya memang wajib tes, karena ada kontak fisik. Saya mengusulkan supaya melaporkan diri ke Puskesmas, dan langsung ditindaklanjuti oleh atasan.

Begitu mendapat informasi ini, saya memberitahu istri untuk minta izin melakukan isolasi mandiri. Tentu saja jarak dijaga, dan masker sudah dipakai. Saya berpikir segera isolasi, karena belum ada 24 jam dari kemungkinan saya terpapar, sehingga prosentasi saya menularkan ke keluarga masih kecil. Setelah mendapat izin dari istri, saya memintanya untuk mengajak anak-anak ke lantai 1. Sementara saya dengan memakai sarung tangan karet, melakukan disinfektasi permukaan-permukaan yang seingat saya telah saya sentuh selama 24 jam terakhir, termasuk mencuci perlengkapan makan yang saya pakai.

Setelah selesai acara bersih-bersih, saya berangkat untuk isolasi. Kebetulan ada satu rumah yang selama ini jarang dipakai. Kondisi bersih dan nyaman, peralatan rumah tangga lengkap, mendukung untuk bekerja dari rumah. Ya sekitar 5 km dari rumah kami.

Sesampainya di sana, bikin status bahwa sedang isolasi mandiri dengan penjelasan kejadian secara singkat. Sejak awal pandemi, saya punya catatan siapa saja yang saya temui setiap hari. Karena sejak Jumat saya hanya bertemu keluarga, saya tidak secara khusus menghubungi siapapun.

Sore harinya, kami sudah dapat kabar dari Puskesmas bahwa sudah dijadwalkan untuk melakukan tes cepat antigen besok Senin di Puskesmas. Tidak ada hal khusus dilakukan selama isolasi, ya karena saya merasa kondisi fit. Hanya memang beberapa pelayanan terpaksa dibatalkan, sementara semua pekerjaan masih bisa diselesaikan lah, selama tidak memerlukan bertemu secara fisik. Ada waktu lebih untuk olahraga — sekedar jogging di treadmill.

Hari Senin, 21 Februari 2022 kami bertujuh hadir di Puskesmas. Hanya bertujuh karena satu orang memutuskan tes mandiri, karena rumah ada di luar kota. Rupanya, ada kebijakan bahwa Puskesmas tidak melayani tes swab untuk umum, hanya bagi mereka yang terdata karena tracing kontak erat.

Ini kali pertama saya tes dengan cara swab, disogok hidungnya itu lho. Tapi, mungkin karena petugas sudah berpengalaman hampir dua tahun melayani swab, ya memang tidak sakit sih.

Sore harinya, kami sudah dikirim WA hasilnya. Dari tujuh orang, satu orang positif, langsung diminta isolasi mandiri. Kondisi teman yang positif ini sehat, tidak ada gejala apapun. O’ya, satu minggu sebelumnya, teman-teman ini sudah mendapatkan vaksin booster. Sementara kami yang negatif, tetap isolasi mandiri sembari dijadwalkan untuk evaluasi dengan tes PCR.

Mengapa tidak melakukan tes mandiri? Jawaban pertama, karena gratis. Kalau tes mandiri ya bayar sendiri lah. Dari Puskesmas pun menyatakan boleh kok kalau mau tes mandiri. Begini ya, kalau Puskesmas/ Dinas Kesehatan/ Rumah Sakit itu menjadwalkan tes, ada hitungan ilmiahnya. Kalau terburu-buru, bisa jadi memunculkan hasil false negatif. Maka, sejak awal saya mewanti-wanti teman-teman, kalau mau tes mandiri, paling tidak tunggu tiga hari dari kemungkinan terpapar, dan lebih baik langsung tes PCR.

Hari Jumat, 25 Februari 2022 kami berkumpul di RSUD Ibu Fatmawati Soekarno untuk melakukan tes PCR. Rupanya semua Puskesmas di Sala ini mengarahkan tes Swab di rumah sakit ini. Pengalaman saya, baik di Puskesmas maupun di RSUD ini, proses tes berlangsung cepat dan tanpa rasa sakit.

Saya berharap sore hari sudah keluar hasilnya sih, cuma rupanya sampai malam tidak ada informasi tentang hasil tes PCR. Sabtu pagi, atasan kami WA menanyakan apakah ada yang dapat surat cinta dari Kemenkes. Rupanya, bagi yang hasil tes PCR positif, langsung mendapat WA dari Kementerian Kesehatan. Dari tes PCR ini, ada dua teman lagi yang dinyatakan positif. Tinggal melanjutkan isolasi mandiri sih. Lagi-lagi mereka dalam kondisi sehat dan tanpa gejala.

Saya langsung coba cek aplikasi Peduli Lindungi, rupanya hasilnya sudah muncul di sana, dan negatif saudara-saudara. Tidak langsung pulang sih. Ya bersih-bersih dulu rumah isolasi. Agak siangan, saya pulang tanpa memberitahu istri. Begitu sampai rumah, tidak disambut dong, langsung ditanyakan buktinya kalau negatif. He … he … he.

Terima kasih untuk semua perhatian yang diberikan ke saya selama isolasi mandiri, dan dari sana saya mendapatkan beberapa pelajaran penting yang ingin saya bagikan.

Pertama, ketika saya mengabarkan melalui sosial media bahwa saya isolasi mandiri, beberapa pertanyaan muncul dari teman-teman, seperti:

  • Tidak bergejala kok isolasi mandiri?
  • Belum ada hasil tes kok isolasi mandiri?
  • Bahkan istri saya ditanya, “Kok keluarga tidak ikut dites?”

Nah, paradigma semacam ini yang beredar di masyarakat.

Kalau isolasi mandiri itu berarti positif Covid-19. Isolasi mandiri itu hanya untuk yang bergejala. Pola pikir semacam ini yang saya rasa harus diubah.

Ketika saya memutuskan untuk isolasi mandiri, dari kejadian kemungkinan terpapar Covid-19, jarak waktunya kurang dari 24 jam. Ini bisa saja salah, tetapi prosentase saya menularkan — jika ternyata terpapar — masih kecil. Kemungkinan saya menularkan ke istri dan anak-anak masih kecil. Jika saya menunggu lebih lama, maka kemungkinan saya menularkan — sekali lagi, jika ternyata terpapar — menjadi semakin besar. Ingat, lebih dari 60% yang terpapar Covid-19 itu tidak bergejala.

Maka, saya ingin mengatakan demikian. Jika kita tahu bahwa kita adalah kontak erat dari orang yang positif Covid-19, secepatnya, sesegera mungkin, bahkan sebelum Anda melakukan tes swab, lakukan isolasi mandiri.

Bayangkan ini, jika saya menunda isolasi mandiri, saya masih bisa pergi kemanapun, berjumpa dengan siapapun. Hari Minggu saya masih ke gereja, pelayanan, bersua dengan sekian banyak orang, di ruang tertutup pula. Dan ternyata hasil tesnya saya positif. Bukankan artinya saya menularkan ke sekian banyak orang.

Saya menekankan bahwa isolasi mandiri itu mitigasi pribadi. Ketika saya menyebut mitigasi, artinya ada usaha untuk mengurangi dampak.

Lagian, meskipun dua hasil tes saya — baik antigen maupun PCR — negatif, tidak berarti 100% saya tidak terpapar Covid-19. Ada probabilitas saintifik bahwa bisa jadi saya terpapar Covid-19, hanya saja di saat tes antigen jumlah virus belum banyak, dan saat tes PCR jumlah virus sudah menurun, maka dua-duanya hasilnya negatif.

Dari pengalaman ini, kedua, saya menemukan lemahnya proses tracing kita. Bisa jadi karena kekurangan atau ketiadaan personil. Begini, sepanjang pengamatan saya, proses tracing masih berdasarkan kepada prinsip kejujuran dan keterbukaan. Seandainya kami tidak melaporkan diri, kemungkinan besar kami tidak akan ikut tes swab. Kami masih akan tetap bekerja seperti biasa, bertemu keluarga, bertemu banyak orang lain, padahal ada yang positif Covid-19.

Saya rasa sudah waktunya proses 3T ini beralih menjadi berdasarkan sains dan teknologi. Saya ini heran, apa tidak ada orang-orang di Pusat itu punya ide memanfaatkan IoT untuk tracing ya. Contohnya ini, saya punya jam tangan yang punya chip GPS di dalamnya, bisa mengukur kadar oksigen dalam darah. Bisa memahami arah pembicaraan saya? Pun harganya tidak sampai 60 USD. Indonesia mampu kok membuat perangkat semacam ini.

Atau, seandainya anggaran KTP elektronik tidak dikorupsi, tracing di tempat umum menjadi lebih mudah. Ada alat pemindai KTP, data NIK otomatis terekam, sehingga sistem tahu orang tertentu ada di mana saja selama beberapa hari ke belakang.

Bisa kok, mampu, tinggal kemauan saja.

Selama isolasi mandiri, saya hampir tidak ada kendala sama sekali. Tidak keluar rumah itu passive skill saya. Tetapi, saya juga menemukan hal ini. Ketiga, kebijakan isolasi harus lebih mendapat perhatian.

Banyak orang tidak mau melakukan tes swab, salah satu alasannya, kalau nanti positif maka harus isolasi. Bagi mereka yang punya penghasilan harian, ini bisa jadi masalah besar. Mereka akan lebih memilih tetap bekerja supaya ada uang masuk, meskipun berarti tanpa sadar menyebarkan Covid-19.

Perlu ada tunjangan khusus bagi orang yang isolasi mandiri dan penanggung jawab nafkah keluarga. Kalau di kota kami ini, saat ada warga yang isolasi mandiri, pengurus RT akan mengusahakan mengirimkan bahan makanan pokok sampai selesai waktunya isolasi mandiri. Masalahnya bagaimana dengan biaya-biaya lain, seperti beban listrik?

Nah, seandainya bisa memanfaatkan teknologi bukannya ini menjadi mudah. Sudah dilakukan integrasi scan Peduli Lindungi dengan beberapa aplikasi market place. Mengapa tidak dilakukan integrasi lebih dalam. Maka, katakanlah orang yang isolasi mandiri mau membeli token listrik di aplikasi market place, karena sudah terintegrasi dengan Peduli Lindungi, dan diketahui statusnya, maka akan mendapatkan diskon 100% untuk pembelian token listrik hingga nominal tertentu.

Berikutnya, bagi yang melakukan isolasi mandiri itu, banyak atau sedikit akan ada beban psikologis berkaitan dengan kesendirian. Saya sih lebih menyarankan untuk mengefektifkan lokasi-lokasi isolasi terpusat. Beban psikologis berkurang karena ada banyak teman yang bersama-sama di satu tempat, sekaligus pengawasan lebih mudah dilakukan.

Ini saya tulis sudah 3 halaman kuarto, lebih dari 1.200 kata, 8.000-an karakter. Sepenting itukah? Begini, menurut saya adalah hal yang hampir mustahil jika kita ingin kembali ke kondisi sebelum 2020. Covid-19 akan terus bersama dengan kita, dan kita harus beradaptasi dengannya. Lagian, saya kok berpikir bahwa ini bukan pandemi terakhir yang akan kita hadapi ya. Secara pribadi kita musti siap, Pemerintah pun dituntut untuk belajar dari pandemi Covid-19 ini.

Tetap sehat ya teman-teman. Ingat ventilasi-durasi-jarak jika ada di ruang tertutup, dan tetap disiplin dengan 5M.

=======<0>=======

Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.

CC BY-NC-SA 4.0 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Captcha * Time limit is exhausted. Please reload CAPTCHA.