Maraknya penutupan gereja — sebuah otokritik

Saya membuat tulisan ini, karena saya pernah mengalaminya sendiri. Saya pernah mengalami bagaimana gereja di mana saya pernah melayani terpaksa ditutup dan bagaimana berhadapan langsung dengan keberingasan kelompok garis keras macam itu. Tulisan ini tidak disusun oleh orang yang belum pernah mengalaminya, saya jelas mengalaminya.

Tetapi dalam tulisan ini, saya berusaha mengurai secara subjektif dari luar, seakan-akan saya tidak pernah mengalaminya. Mengapa muncul tulisan ini? Kebanyakan gereja dan orang Kristen memandang penindasan terhadap gereja akhir-akhir ini secara subjektif.

Pertama, kita berpikir bahwa akar permasalahan utama adalah ada di pemerintah dan produk hukumnya yang tidak memihak kepada minoritas. Ambil contoh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006[1] atau juga Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979[2]

Kedua, kita berpikir bahwa memang adalah tujuan kelompok-kelompok garis keras untuk menindas dan menganiaya gereja dan orang Kristen.

Ketiga, kita sering mengutip ayat-ayat Alkitab dan nubuatan-nubuatan di dalamnya dan membuat kesimpulan kalau kita mengalami penindasan dan penganiayaan macam ini, maka itu adalah sebuah kebahagiaan, suatu hak istimewa (=privilege) yang hanya diterima umat pilihan-Nya.[3]

Masalah dengan pemikiran-pemikiran macam ini adalah kita berkata bahwa gereja dan orang Kristen ada dalam posisi yang benar, bahwa kita tidak melakukan kesalahan apa-apa, hanya mereka saja yang memang mencari masalah untuk menindas gereja. Tunggu! Saya bukannya sedang TIDAK membela gereja dan kebebasan beribadah, lihat tulisan-tulisan saya tentang World Watch List, tentang Persecuted Church, bagaimana saya mempromosikan dan menggerakkan International Day of Prayer for Persecuted Church. Saya orang Kristen yang tahu persis dan mengalami sendiri bagaimana beratnya menjadi orang Kristen dan berhadapan dengan kelompok garis keras.

Pemikiran-pemikiran kita seperti yang saya tuliskan di atas hanya menyoroti faktor-faktor yang terjadi di luar gereja. Jika kita tidak mencoba belajar menginstropeksi dan mengkritisi gereja – dalam hal penindasan terhadap gereja ini – maka kita sudah berhenti menjadi gereja yang bertumbuh secara progresif. Maka tulisan ini saya susun dalam bentuk otokritik, termasuk kepada diri saya sendiri sebagai bagian dari gereja dan Gereja-Nya.

Kita menyebutnya Amanat Agung, mereka menyebutnya kristenisasi

Ingat bahwa dari sudut pandang sejarah, kekristenan masuk ke Indonesia bersamaan dengan kolonialisme dan imperialisme dalam semangat gold, glory, gospel. Maka, harus kita pahami kalau kekristenan dianggap sebagai produk barat atau budaya barat yang mengekpansi bangsa ini. Dengan hal ini janganlah heran kalau kekristenan dianggap sebagai musuh.

Saya tidak bisa memastikan, tetapi saya rasa spirit ekspansi, roh penaklukan ini masih terbawa dalam pelaksanaan Amanat Agung di Indonesia. Matius 28:18-20 diperagakan seperti Israel memasuki Tanah Perjanjian yang memerangi semua bangsa yang ada di sana, mengusir semua musuh, dan berdiri digdaya sebagai more than conquerors[4]. Gereja dan umat kristen masih berpandangan bahwa kemenangan kekristenan terletak pada bertambahnya jumlah orang yang beragama Kristen berlipat ganda.

Perhatikan bahwa sebagaimana orang Kristen tidak rela ada saudaranya yang berpindah memeluk agama Islam, demikian juga umat Islam tidak rela jika ada umat mereka yang berpindah masuk ke gereja. Jangan heran bagaimana reaktifnya kelompok-kelompok garis keras dengan isu-isu kristenisasi atau pembaptisan “paksa” di beberapa daerah beberapa waktu yang lalu.

Secara politik praktis dan strategis, posisi mayoritas selalu lebih menguntungkan. Maka musti dipahami kalau ada yang tidak rela melepaskan dominasinya dalam mayoritas. Dan kalau ada sebuah ancaman serius terhadap dominasi mayoritas ini, maka mereka juga akan bereaksi dengan sangat keras.

Maka muncullah produk perundang-undangan seperti di bawah ini,

Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut dengan melakukan ibadat menurut agamanya.[5]

Dan juga pembatasan-pembatasan semacam ini,

Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara:

a. Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut.

b. Menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain. 

c. Melakukan kunjungan dan rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama yang lain. [6]

Kalau diperhatikan, bukankah poin-poin di atas adalah hal-hal yang dilakukan gereja dalam pelayanan misi kita. Maka sebenarnya, dengan melakukan hal itu, gereja sudah melanggar aturan perundang-undangan. Lihat saja bagaimana beberapa penginjil dijerat dengan peraturan ini.

Lalu bagaimana kita bisa menjalankan Amanat Agung Tuhan Yesus? Mintalah hikmat dari atas saat memberitakan Injil, kalau kita jeli, aturan di atas ada celahnya, cukup lebar untuk dimanfaatkan. Anugerah keselamatan dalam Kristus Yesus itu memang cuma-cuma, murah, tetapi jangan menjualnya murahan. Ingat bahwa prinsip utama dari Amanat Agung Kristus adalah menjadi saksi-Nya[7]. Jangan terbelenggu dengan pemikiran bahwa Amanat Agung itu dijalankan dengan penginjilan frontal (bujukan, pemberian, dll), atau penyebaran literatur-literatur. Itu hanyalah cara dan metode, Amanat Agung tidak berbicara tentang cara atau metode.

Kita menyebutnya perintisan, mereka menyebutnya kolonialisasi

Apa yang kita sebut perintisan biasanya dimulai dengan penginjilan terbatas hingga sampai kepada pembangunan gedung gereja di suatu daerah. Bagi mereka, hal ini semacam kita datang ke daerah kekuasaan mereka, dan melakukan sebuah pendudukan dan perampasan pendukungnya.

Pemahaman orang Kristen yang bagi saya kurang tepat adalah pernyataan bahwa kebangunan rohani (=revival) itu identik dengan pertumbuhan berlipat ganda dalam hal jumlah, baik jemaat maupun gedung gereja. Coba lihat visi, misi, atau AD/ART beberapa gereja. Pasti ada target jumlah jemaat dan jumlah gedung gereja yang akan dibangun. Apakah hal ini salah? Bukan tentang salah dan benarnya, tetapi saya rasa Amanat Agung-Nya juga bukan tentang membangun banyak gedung gereja kan? Ya, saya tahu pasti umat Kristen membutuhkan gedung gereja, tetapi sekali lagi, saya mencoba memandangnya secara subjektif, dari sisi luar. Hal ini seperti kita membangun Menara Emas – saya harap tidak akan menjadi menara Babel – sebuah (yang kita pikir sebagai) prototipe rumah TUHAN di surga.

Kalau kita perhatikan, sangatlah jarang masjid yang dibangun dengan begitu anggun dan megah di Indonesia ini. Kalaupun ada, itu pun baru bermunculan akhir-akhir ini. Bagaimana dengan gedung gereja? Saya pernah mendengar komentar pendeta-pendeta yang merasa malu dan minder saat berhadapan dengan pendeta-pendeta yang lain karena belum bisa membangun gedung gereja. Apalagi kalau cuma bisa kontrak tempat untuk mengadakan ibadah. Maka, dimulailah perlombaan membangun gedung gereja, bukan sekedar gedung gereja, tapi gereja yang megah yang mampu menampung ribuan orang, dengan anggaran dalam hitungan milyaran hingga trilyunan.

Hal ini juga ditambah dengan ketergantungan dan perasaan superioritas orang Kristen terhadap suatu denominasi. Kita mungkin tidak menyadari, tetapi hal ini sudah menjadi catatan dan perhatian para intelektual muslim. Akan sangat jarang kita temui ada orang Kristen yang dengan senang hati menghadiri ibadah raya di gereja yang lain denominasinya. Kalau kita sedang ada tugas ke luar kota, apa gereja yang kita cari? Hampir pasti gereja yang se-denominasi kan, paling tidak satu aliran. Apa sih yang kita ini cari? Suasananya atau kebenaran-Nya? 🙁

Cerita sedikit ya, dalam seminggu ini ada yang bertanya kepada saya, kalau sedang tidak berkhotbah, saya bergereja di mana. Saya jawab saya bergereja di G**. Orang ini tampak sangat kaget dan kemudian bertanya apakah sebenarnya saya ini, Pentakosta, Protestan, tradisional, Karismatik, atau yang lain. Saya jawab, “saya orang Kristen!”. Maaf, jadi melantur kemana-mana. Maka, waktu muncul wacana perizinan gereja dan konsekuensi bagi gereja yang tidak berizin adalah menggabungkan jemaatnya dengan gereja terdekat, ini sangatlah ditentang orang Kristen.

Berapa banyak aliran, denominasi, sinode, dan organisasi gereja di Indonesia ini. Hitung saja berapa banyak gedung gereja yang dibangun, padahal satu denominasi di satu kota saja bisa ada puluhan gedung gereja. Menurut salah satu informasi yang dirilis oleh salah satu organisasi garis keras, dalam 20 tahun terakhir, umat Kristen yang jumlahnya hanya 20% penduduk Indonesia membangun gedung gereja baru 10-20 kali lipat (200-400%), dari jumlah masjid baru yang dibangun untuk umat dengan jumlah 80%. Kemenangan kekristenankah? Bukan, ini ancaman bagi mereka.

Bayangkan ini, kebanyakan masjid dibangun dalam kesederhanaan dan kebersahajaan, dananya dikumpulkan dari para pengguna jalan, kotak-kotak di rumah-rumah makan. Sementara gereja dibangun dalam kemegahan dan (maaf kata) keglamoran, dengan jumlah anggaran yang hampir tak terbatas. Maaf, kita sedang mempertontonkan dan memprovokasi mereka dengan menyatakan TUHAN Yesusnya orang Kristen ini lebih hebat dari tuhan-tuhan yang lain.

Jangan heran kalau kemudian muncul aturan ini,

Pasal 13

1. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

2. Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

3. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.

 Pasal 14

1. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

     a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

     b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

     c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

     d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

3. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.[8]

Kalau kita belum menyadari bagaimana ketatnya aturan ini, perhatikan bahwa menurut pasal-pasal ini, perhatikan bahwa gedung gereja hanya bisa dibangun dengan sebuah persyaratan demografi. Meskipun ketat, sebenarnya peraturan ini memberikan tanggungjawab kepada pemda yang sedikit memberikan angin bagi gereja, yaitu di Pasal 14 ayat 3.

Kita kemudian sedikit berhikmat dengan tidak membangun gedung gereja, tetapi menyewa ruko-ruko, atau ruang pertemuan, atau hotel-hotel. Tetapi juga ada aturan lho tentang hal ini,

Pasal 18

1. Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan:

     a. laik fungsi; dan

     b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

2. Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.

3. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:

     a. izin tertulis pemilik bangunan;

     b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;

     c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan

     d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Pasal 19

1. Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.

2. Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

 Pasal 20

1. Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada camat.

2. Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.

Jadi, saya merasa bahwa produk-produk hukum yang “sepertinya” tidak memihak minoritas ini bukanlah masalah utamanya. Ini adalah sebuah alat yang muncul sebagai reaksi atas berlipatgandanya gedung-gedung gereja, dan “kebetulan” bisa menjadi senjata untuk menekan gereja dan orang Kristen.

Jurang sosial ekonomi

Waktu gereja yang pernah saya alami ditutup karena desakan organisasi garis keras, melalui perbincangan hati ke hati dengan salah satu anggota mereka ditemukan sebuah fakta yang mengejutkan. Ada kecemburuan sosial ekonomi yang begitu kuat. Mereka mengatakan bagaimana jemaat kami datang ke gereja dengan mobil dan kendaraan bermotor, kehidupan yang sepertinya makmur, sementara mereka hidup dalam rumah kontrakan yang sederhana. Anak-anak jemaat gereja bisa memperoleh bantuan pendidikan, sementara mereka jungkir balik menyekolahkan anak mereka.

Saya tidak tahu apakah ini bisa digeneralisasi, tetapi sepertinya ini juga faktor yang cukup kuat. Waktu itu jawaban yang sempat mampir di pikiran kami – untungnya tidak dilontarkan ke mulut – adalah “ya wajar, kami punya Tuhan Yesus, kalau mau jadi seperti kami ya ayo ikut Tuhan Yesus dong”. Wooooo … salah besar! Saya sekarang menyadari bahwa adalah tidak benar kalau dengan menjadi orang Kristen maka orang akan menerima kemakmuran secara ekonomi.

Kita berpikir bahwa negara ini akan jauh lebih baik, korupsi menghilang, ekonomi akan lebih mapan dan kuat, kalau semua orang menjadi orang Kristen, kalau negara ini dipimpin oleh orang Kristen. Apakah benar demikian?

Entah sadar atau tidak, tapi kita seringkali dengan sengaja mempertandingkan dan membandingkan Tuhan Yesus kita dengan allah-allah lain, untuk sekedar mempertontonkan kalau kekristenan jauh lebih hebat dan superior dibandingkan agama-agama yang lain. Sebuah tindakan provokasi yang hambar dan bodoh.

Saya harap tulisan ini bisa menjadi sebuah otokritik bagi kita, gereja, untuk hidup lebih baik, memperagakan – bukan mempertontonkan – kasih Kristus Yesus secara nyata dan bijak di dalam negara yang plural ini. Sekaligus menghidupi iman kita dengan kokoh di tengah tantangan, penindasan, dan aniaya yang semakin sering dan jamak dialami oleh gereja.

Doa dan roh saya terus bersama dengan saudara-saudara kita, Gereja Tuhan yang mengalami aniaya dan penindasan.

=======<0>=======

Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.

CC BY-NC-SA 4.0 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

  1. [1]Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat
  2. [2]Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama Dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan Di Indonesia
  3. [3]Bd. Matius 5:10-11; 2 Korintus 4:8-12; 2 Tesalonika 4:1-7; 1 Petrus 4:12-16
  4. [4]Roma 8:37
  5. [5]Pasal 3 Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979
  6. [6]Pasal 4 Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979
  7. [7]Kisah Para Rasul 1:8
  8. [8]Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006

5 thoughts on “Maraknya penutupan gereja — sebuah otokritik

  1. Ikra

    Salam kenal Pak Martinus, Saya seorang Kristen dan membaca tulisan bapak dari kicauan Andreas Harsono.  Pendapat bapak sama dengan pendapat saya. Di satu sisi, meski saya gencar mengkritik impotensi pemerintah dalam membela hak-hak beribadah warganya (bukan hanya Kristen, tapi juga Ahmadiyah dan Syiah), saya juga berbagi otokritik yang sama dengan bapak. Saya malu dengan prilaku orang-orang Kristen, yang secara khusus di Indonesia muncul dlm upaya menarik orang jd Kristen dengan Indomie sampai megah dan perlentenya para pendeta. Sukar untuk menemukan jejak bayi Kristus yang lahir saja dalam palungan dalam ibadah di gedung bertingkat, dengan pendeta yang parfumnya saja bisa untuk makan orang kebanyakan sebulan.  Saya paham betul tentang bibit-bibit kecemburuan sosial ekonomi yang muncul dalam masyarakat. Jangankan oleh umat agama lain, di kalangan Kristen sendiri pun, bibit-bibit perpecahan itu sudah terbukti berbuah. Jika bapak pernah ke Manado, setiap 100 meter bapak bisa menjumpai gereja. Satu hal lagi yang membuat malu karena merupakan tanda bahwa orang Kristen susah akur. Namun di sisi lain, saya juga sepakat bahwa negara wajib melindungi hak beribadah warganya. Peraturan persyaratan pembangunan rumah ibadah itu bisa berujung pada tirani mayoritas dan matinya hak-hak kaum yang sangat-sangat minoritas. Rasanya saya cukup aware bahwa masalah ini pelik. Di pihak Kristen saya setuju, perlu otokritik yang sangat banyak namun saya kira hak setiap warga negara untuk beribadah perlu dibela juga.  

    Reply
    1. martianuswb Post author

      Waduh, saya baru tahu tulisan saya dikicaukan oleh pak Andreas Harsono *tersanjung*. Terima kasih untuk tanggapan dan masukannya. Salam kenal juga 🙂 TUHAN berkati.

      Reply
  2. Pingback: Celathu tentang penutupan gereja | Celathuné MartianusWB

  3. Jika iman sesat pakelah hatinurani

    JIka NKRI bubar yang diiuntungkan islam, tp dibalik keuntungan itu mereka akan sengsara klop seperti timur tengah. islam kerap sekali buta nurani, kekerasan dan kebencian hanya milik islam, bandingkan ke timur tengah , gak ada bedanya. bahkan negara yg islamnya sedikit bisa bikin rusuh alias kacau seperti: Kashmir India, Thailand selatan, Filipina selatan, Rusia, Myanmar, bahkan Eropa & Amerika Goyang gara2 ulah ajaran islam. tidak sedikit para Ulama terhipnotis oleh ajaran Alquran Muhamad yg mengandung kebencian, salah satunya Rhoma irama. Rhoma tdk salah, tapi Alquran Muhamadlah yang salah. Gereja asalnya dari Sorga, bukan dunia. kenapa Pendirian gereja harus ada ijin segala atau persyaratan yg macam2. sedangkan pendirian masjid terserah dimana saja kapanpun tidak perlu ijin. di Eropa & USA Gereja saja harus ada ijin.  terbukti dan benar sudah Firman Tuhan:  “Jika kamu dibenci dunia berarti kamu milik Sorga, jika kamu disukai dunia berarti kamu milik Dunia”.  sungguh tdk terbantahkan ayat ini. Salam damai!!

    Reply
    1. martianuswb Post author

      Demi kebebasan berekspresi dan berpendapat, saya approve komentar Anda. Tetapi, saya boleh tidak setuju dengan pendapat Anda ya.

      Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Captcha * Time limit is exhausted. Please reload CAPTCHA.