Beberapa hari yang lalu baru sempat menonton film “Life of Pi”. Iya, saya memang lebih suka melihat film kalau sudah “basi”. Nah, jadi teringat dengan kisah ini.
Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.” Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?”[1]
Saya menarik perhatian kita semua kepada pertanyaan Tuhan Yesus itu, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Mungkin pengkhotbah lain akan mengatakan bahwa kita harus percaya bahwa sebesar apapun badai dalam hidup kita, percayalah Tuhan Yesus sanggup meredakannya. Apakah benar kisah ini mengatakan demikian kepada kita?
Saya tahu dan saya percaya bahwa Kristus sanggup meredakan semua badai kehidupan. Tetapi saya rasa kisah ini bukan dimaksudkan untuk mengatakan hal ini. Perhatikan bagaimana kepanikan dan ketakuran para murid sehingga mereka berkata, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”.
Bagi saya kisah ini memberi pelajaran yang lebih dalam kepada kita. Sebesar apapun badai itu, selama Kristus ada bersama dengan kita, tidak perlu takut, karena badai itu tidak akan bisa membinasakan kita. Ingat, di bagian awal perikop di atas, kita bisa membaca bahwa Tuhan Yesus sendiri yang memerintahkan untuk menuju ke taufan itu.
Maka izinkan saya menuliskannya dengan cara yang berbeda. Ada waktunya Tuhan Yesus memerintahkan saya mendayung perahu masuk ke dalam badai. Sekalipun Dia “tertidur”, saya tahu bahwa saya tidak perlu bersusah payah untuk “membangunkan” Dia. Selama Dia bersama saya di dalam perahu itu, sebesar apapun badai itu, sedahsyat apapun amukan taufan itu, tidak akan bisa melukai saya. Dan saya tidak perlu mengharapkan Dia menghardik angin itu.
Tetapi, saya juga tahu bahwa Penjagaku tidak pernah terlelap dan tidak pernah tertidur[2]. Ketika di tengah taufan yang dahsyat itu, saya akan mendengar Dia berteriak, “turunkan layar!”, “pegangan yang kuat”, “arahkan ke kanan”. Bahkan Dia akan turut menggulung tali layar, menguras air dari dalam perahu. Ketika oleh angin yang dahsyat itu, tubuhku terpelanting hampir keluar dari perahu, dengan sigap Dia memegangku, dan berkata, “Aku selalu memegangmu”.
Ketika kami keluar dari badai itu dan sampai ke tepian, bukan kekecewaan dan kemarahan yang kulihat di wajah-Nya. Saya melihat senyuman-Nya, seperti seorang Sahabat yang berkata, “terima kasih telah mempercayai-Ku”.
Lebih mudah dituliskan, lebih gampang dikhotbahkan memang, tetapi saya juga tahu tidaklah mudah untuk dilakukan. Tetapi bukankah itu artinya menjadi Kristen yang dewasa? Mempercayai Dia – bukan dengan jikalau – melainkan dengan walaupun.
=============
Gambar diunduh dari http://commons.wikimedia.org/. “Christ in the Storm on the Sea of Galilee” karya Ludolf Backhuysen (1695).
=======<0>=======
Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.