Plagiat khotbah

      No Comments on Plagiat khotbah

Beberapa waktu yang lalu saya mendengarkan podcast khotbah, dan menemukan sesuatu yang menarik. Kebetulan saja sih sebenarnya, karena saya bukan orang tipe auditori. Saya lebih senang membaca pengajaran dan khotbah sepanjang apapun, daripada kalau disuruh mendengarkan.

Pada menit-menit awal podcast khotbah itu, saya memperhatikan ada ilustrasi yang sepertinya pernah saya dengar. Sambil meneruskan mendengar, saya googling kisah ilustrasi ini, dan benar ilustrasinya sama, hanya diganti subjeknya saja menjadi kata ganti orang pertama. Nah, sembari saya mendengarkan podcast itu, lha kok ternyata isi khotbahnya mirip 90% dengan tulisan yang tadi saya temukan. Bahkan hampir semua kalimatnya mirip.

Yang kemudian langsung muncul di pikiran adalah kata ini: PLAGIAT.

Harap bisa dimaklumi, karena kalau memberi tugas esai ke anak-anak, saya selalu “mengancam” mereka untuk tidak asal salin-tempel (baca: copy-paste) dari internet. Meskipun saya kemudian menahan diri, supaya tidak masuk ke dalam penghakiman yang tidak benar.

Sebenarnya plagiat itu apa sih? Ada banyak definisi dan deskripsi yang ditulis, tetapi saya akan mengambil dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.

Di pasal 1 ayat 1 Permen tersebut dituliskan bahwa

Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.

Di pasal 2 ayat 1, dituliskan demikian

Plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a. mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai;
b. mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai;
c. menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai;
d. merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber kata-kata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai;
e. menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara memadai.

Peraturan ini tidak sekedar mengikat kepada karya tulis saja, tetapi juga hal lainnya yang diterbitkan, dipresentasikan, dan dimuat termasuk di dalam media elektronik.

Kalau mengacu kepada peraturan ini dan etika keilmuan secara umum, apa yang dilakukan oleh pengkhotbah di podcast tadi sudah termasuk dalam plagiat. Ah, masak iya kita sekaku itu?

Bagaimana dengan sinode gereja saya? Di gereja kami, Sinode itu mempersiapkan bahan liturgi setiap kebaktian, termasuk khotbah di dalamnya. Bisa jadi sekian pendeta sinode kami di sekian ratus gereja mengkhotbahkan hal yang sama. Apakah ini bukan plagiat? Tidak, karena ketika liturgi ini dibuat, para penyusunnya sudah memberikan izin untuk isi di dalamnya disampaikan tanpa menyatakan sumbernya. Pun sangat dibolehkan seandainya pengkhotbah sekedar membacakan isi khotbah di dalamnya.

Bukankah Matius dan Lukas juga memplagiat karyanya Markus? Eh, tunggu dulu, kalau sudah masuk ke Synoptic Problem ini, ya butuh tulisan tersendiri to. Tetapi secara ringkas bisa saya jawab bahwa pada masa itu, saling mengutip antar-cendekiawan bukanlah sesuatu yang negatif, bahkan dipandang sebagai suatu praktik yang baik.

Kembali ke sini dulu. Hari ini saya ada waktu agak longgar, dan dengan iseng saya memilih secara acak sembilan podcast khotbah di YouTube, sembari googling apakah pengkhotbah mengambil bahan khotbah dari apa yang ditulis oleh orang lain.

Faktanya, tiga pengkhotbah dari sembilan podcast itu plek-ketlplek mengambil 100% tulisan orang lain di Internet. Mereka sekedar membacakan tulisan orang lain. Bahkan ada yang membacakan dari satu renungan harian yang cukup terkenal. Dua podcast meniru paling tidak 80% tulisan orang lain, dan satu podcast meniru 100% video khotbah lain di YouTube. Separuh dari podcast yang saya dengarkan bukanlah hasil perenungan pengkhotbahnya sendiri terhadap Firman Tuhan.

Apa tidak boleh menyusun khotbah dengan mencari referensi lain? Tentu saja boleh. Masalah utama dari plagiat adalah “tanpa menyatakan sumber secara memadai”.

Mendiang Pdt. Bigman Sirait dalam tulisannya di reformata[dot]com yang berjudul Khotbah Ogah Susah menyatakan demikian.

Ada banyak pengkhotbah yang berkhotbah tanpa perlu mempersiapkan diri, cukup mengcopy paste saja. Yang diperlukan hanya penampilan panggung yang memukau dan fasih lidah. Maka jadilah pengkhotbah copy paste … Di dunia rohani ternyata tak berbeda, jalan pintas juga disukai. Semua orang berlomba mau jadi pengkhotbah, berani berbicara, tapi” takut belajar”. Cukup copy paste saja.

Saya bisa membayangkan semasa beliau masih hidup – dengan gaya yang khas – menampar kita semua dengan pernyataan ini.

Eh, itu contohnya menyatakan sumber secara memadai. Saya mengutip pernyataan orang lain, dan sekaligus menyatakan dari mana kutipan itu saya dapatkan.

Begini lho, bagi saya berkhotbah itu seperti mempersiapkan makanan rohani untuk disantap oleh jemaat. Kalau saya memplagiat khotbah orang lain, apakah tidak sama artinya kalau saya memakan masakan dari orang lain, lalu kemudian memuntahkannya untuk saya suapkan kepada jemaat?

Lagian ini kan masa yang canggih, AI bertebaran di mana-mana. Mengapa tidak minta tolong kecerdasan buatan untuk membuatkan khotbah? Jangankan membuat khotbah, sudah ada eksperimen sebuah kebaktian yang 99% dikendalikan oleh AI, dan jalan benar kok.

Ah, memang ada yang tahu kalau kita plagiat khotbah orang lain? Belum pernah ketemu orang yang sangat hobi membaca dan mendengarkan banyak khotbah? Atau belum ketemu orang seperti saya yang isengnya mencari apakah sebuah khotbah merupakan plagiat?

Bukankah mempersiapkan khotbah itu adalah waktu yang mustinya kita hargai karena di sana kita lebih dahulu bertemu dengan Tuhan, bergumul di dalamnya, berkomunikasi dengan-Nya untuk memahami isi hati-Nya? Apakah kita rela melepaskan kesempatan ini kepada AI? Ataukah seperti pernyataan mendiang Pdt. Bigman Sirait, memang kitanya yang ogah susah?

=======<0>=======

Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.

CC BY-NC-SA 4.0 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Captcha * Time limit is exhausted. Please reload CAPTCHA.