Setelah mengikuti dan mendapat banyak pelajaran penting lewat KTJ selama lebih dari dua bulan, rasanya perlu membagi beberapa hal tentang hal ini. KTJ (Kursus Teologia Jemaat) yang diadakan di GKJ Margoyudan Sala – dan saya dengar juga di beberapa GKJ lainnya – adalah sebuah kegiatan pengajaran yang saya rasa bertujuan memberikan dasar-dasar teologia bagi kaum awam. Yah, saya menebak karena hanya hadir sebagai peserta. Kalau di GKJ Margoyudan, saya dengar ini kali ketiga diadakan – kalau ada yang bisa koreksi saya, tolong ya. Dan baru kali ini saya bisa mengikuti, kalau dulu-dulu seringnya berbenturan dengan waktu pelayanan di tempat lain.
Waktu dengar saya akan ikut KTJ ini, keluarga dan beberapa sahabat bertanya, sudah mengajar di sekolah teologia kok masih mau ikut KTJ. Saya jawab, memang apa salahnya toh. Saya tahu bahwa saya sudah beberapa tahun mengajar di sekolah teologia – meskipun tidak mengajar teologia – dan juga dengan pengalaman melayani dan berkhotbah sekian tahun, saya lebih percaya bahwa saya pasti akan mendapatkan hal yang baru. Dan itu benar.
Ada empat materi utama dalam KTJ kali ini: Teologia Perjanjian Lama, Teologia Perjanjian Baru, Dogmatika, dan Pastoral. Masing-masing diajarkan oleh pendeta yang memang pakar di bidang itu. Memang secara ilmu saya sudah tahu semua hal itu, tetapi dalam hal praktis, saya mendapat banyak – sekali lagi banyak – hal baru.
Dalam materi Teologia Perjanjian Lama, saya mendapat banyak hal baru berkaitan dengan bahasa Ibrani. Hal ini mendorong saya belajar lebih dalam tentang bahasa Ibrani, rupanya memang jauh lebih kompleks dari apa yang selama ini saya pahami. Wajar juga kalau habis ujian bahasa Ibrani, anak-anak di kampus wajahnya tidak karu-karuan ya 🙂
Dalam materi Teologia Perjanjian Baru, saya mendapat prinsip penafsiran baru yang disebut dengan “close-reading”, setia kepada teks. Yang terbiasa mengikuti tulisan saya, beberapa kali saya menekankan bagaimana seharusnya Alkitab yang menafsirkan Alkitab. Biarkan Alkitab berbicara, bukan kita memaksakan pemikiran kita ke dalam Alkitab. Kira-kira seperti itulah prinsip setia kepada teks. Dengan prinsip penafsiran semacam ini, saya semakin tertantang menggali lebih dalam dan melihat lebih luas.
Di materi Dogmatika, saya baru memahami bagaimana “pluralisnya” gereja ini. Meskipun ada dogma, itu bukan absolut, bukan antikritik. Contoh, di sinode gereja ini yang boleh mengikuti Perjamuan Kudus adalah mereka yang sudah bisa memahami dan mengerti kematian dan kebangkitan Kristus, maka secara praktis anak-anak tidak diizinkan mengikuti Perjamuan Kudus. Ada beberapa pendeta yang mempertanyakan hak asasi anak untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Bukannya melarang atau menghukum atau mengucilkan, sinode memutuskan membolehkan bagi gereja yang menginginkan anak-anak dibolehkan mengikuti Perjamuan Kudus. Tetapi tidak juga mewajibkan gereja yang berkeberatan dengan hal ini.
Materi pastoral bersifat laboratorium praktis bagi peserta KTJ. Beberapa kasus pastoral didiskusikan dalam pandangan Alkitabiah. Terima kasih untuk mas Nico yang menyampaikan materi terakhir “Mengapa Berduka?”. Saya tidak mempercayai kebetulan, ada Tuhan yang merancang segala sesuatu. Sehari sesudahnya, saya mengalami sebuah “proses duka”. Saya percaya Tuhan sudah mempersiapkan materi ini khusus untuk saya, kalau tidak ada materi ini, mungkin saya akan menanggapi duka ini dengan cara yang negatif. Tetapi benar, berjumpa dengan Tuhan di dalam duka itu, benar-benar mengubahkan hidup, mengubahkan paradigma.
Nah, berkenaan dengan semua yang saya terima di KTJ, rasanya bolehlah memberi saran kepada gereja melalui tulisan ini.
Berkenaan dengan peserta KTJ, saya rasa gereja harus “mewajibkan” orang-orang tertentu untuk ikut dalam kegiatan ini. Begini, dengan biaya Rp 10.000,00 untuk enam belas kali pertemuan, mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga, dan pulang dengan perut kenyang, saya rasa ini harga yang sangat murah. Pelajaran di dalam KTJ lebih penting diterima oleh pelayan-pelayan yang bersentuhan langsung dengan jemaat. Misalnya, majelis, diaken, pamong, pengurus kelompok, pengurus komisi, dan lain-lain.
Saya bisa memahami kalau ini memang berkaitan dengan atmosfer pengajaran di dalam gereja. Ada jemaat yang biasa-biasa saja dengan pengajaran Alkitab, dan ada juga yang begitu kritis dan haus terhadap kebenaran Alkitab. Saya masih menemukan orang Kristen, muda dan tua, mengirimkan sms atau lewat media lain ke saya, menanyakan prinsip-prinsip Alkitab tentang banyak hal. Dan saya menemukan banyak peserta KTJ – sekedar melalui perbincangan, pertanyaan, kesaksian – yang punya kehausan yang dalam akan kebenaran Alkitab.
Memang benar semuanya kembali kepada masing-masing pribadi, tetapi atmosfer kehausan kepada kebenaran bisa dikondisikan. Maksud saya begini, pelayan-pelayan yang bersentuhan langsung dengan jemaat kan harus melayani jemaat dalam terang kebenaran Alkitab. Bagaimana mereka bisa menjadi duta Kebenaran, kalau hanya setengah-setengah saja memahami kebenaran itu. Dari kesaksian beberapa peserta KTJ, saya menangkap beberapa kisah adi-kodrati (baca: supranatural) yang terjadi dalam hidup mereka. Alangkah indahnya kalau pengalaman-pengalaman seperti ini dilandasi dengan kebenaran Alkitab.
Berikutnya yang saya usulkan adalah pelaksanaan KTJ berjenjang, artinya materinya berlanjut. Tidak putus dan mengulang dari awal. Katakanlah materi KTJ keempat merupakan kelanjutan dari KTJ ketiga dan selanjutnya. Saya menyadari bahwa ini bukanlah sekolah teologia yang bertujuan melahirkan para pakar teologia, tetapi saya yakin banyak peserta KTJ yang belum merasa puas, paling tidak masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab selama 16 kali pertemuan itu. Mungkin jarak antarKTJ bisa diperpendek. Ya, KTJ ini kan hanya memberikan dasar-dasarnya saja, tetapi dasar-dasar itu juga sangat banyak dan sangat penting kan. Kalau dasarnya tidak kuat, bagaimana bangunannya.
Kalau soal kehadiran, kesetiaan, dan komitmen peserta KTJ, saya menahan diri untuk berkomentar. Ada banyak hal di sana yang mungkin berada di luar tangkapan saya.
Seperti yang seringkali saya utarakan di blog ini, ada begitu banyak pengajar dan pengajaran masa kini yang jauh melenceng dari kebenaran Alkitab. Dengan kemajuan teknologi, jemaat bisa mendengar, melihat, dan membaca khotbah atau pengajaran dari mana saja. Jika jemaat tidak diajar untuk mewaspadai mana kebenaran yang murni, dan mana yang hanya manis di telinga, bisa bahaya itu. Jujur saja, dengan 15-30 menit khotbah di hari Minggu, jumlah waktu yang sedikit untuk menanamkan kebenaran Alkitab. Saya rasa di sinilah peran KTJ menjadi penting.
Saya sudah cukup banyak pengalaman di dalam pengajaran Alkitab, dan saya tahu bahwa tidak banyak – kalau tidak boleh dikatakan sangat sedikit – yang gemar diajar kebenaran Alkitab. Apalagi harus menyediakan waktu secara rutin untuk belajar kebenaran Alkitab, apalagi kebenaran yang diajarkan keras dan tidak manis didengar. Maka, berbahagialah mereka yang mau diajar kebenaran Alkitab.
Ajakan saya kepada jemaat, kalau ada KTJ atau kegiatan macam ini, ayo ikut bareng-bareng ya. Semakin banyak kita tahu, semakin kita tahu bahwa semakin banyak yang kita tidak tahu.
=======<0>=======
Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.