Ketika aku memimpin ibadah penghiburan, sering aku mengajak orang untuk mengucap syukur. Saat ada orang yang kukasihi meninggal, aku berusaha bersyukur bahwa dia sudah kembali ke rumahnya yang sesungguhnya. Tetapi sekarang aku sukar mengucap syukur melihatmu terbujur kaku, dingin, tak berdaya. Aku tidak bisa bersyukur melihat engkau terbaring diam.
Aku melihatmu bertumbuh, engkau pun melihatku bertumbuh. Aku akan dengan senang hati mengakui bahwa tanpa engkau, aku tidak akan bisa menjadi seperti sekarang ini. Tetapi, ada satu waktu di mana aku tidak bisa memahami engkau. Ah … seandainya waktu itu aku bisa mengerti apa yang sedang engkau cari, apa yang sedang engkau kejar, mau engkau bawa kemana hidupmu, tapi aku sama sekali tidak bisa memahamimu.
Di suatu titik, aku tidak lagi bisa mengenalmu. Engkau yang kutemui sekarang sangat jauh berbeda dengan engkau yang kukenal di masa remajaku. Tiba-tiba engkau menjadi sosok yang begitu menginginkan dikenal oleh orang-orang. Engkau membangun hidupmu, engkau mendandani dirimu supaya engkau dilihat dan diakui oleh orang lain. Dulu aku mengenalmu sebagai sosok yang tidak mencari kebanggaan, tetapi sekarang … engkau begitu bangga saat dikerumuni oleh banyak orang, engkau bangga dengan kemegahan perhiasan yang engkau pakai, engkau bangga dengan pujian orang atas dirimu.
Aku … aku merindukan kerendahan hati yang dulu itu. Aku kangen dengan kehambaan yang engkau hidupi waktu dulu. Dulu engkau tidak peduli apakah engkau terkenal atau tidak asalkan engkau mengerjakan kebenaran. Sekarang yang kulihat adalah sesosok selebritis. Selebritis yang haus akan perhatian, selebritis yang mengejar pujian orang. Dahulu, engkau tidak peduli dicaci, dihina, dianiaya orang, asalkan engkau mendapatkan senyuman-Nya. Sekarang … engkau adalah selebritis yang mau melakukan segala cara supaya dikenal oleh banyak orang.
Di kala dunia dipenuhi dengan iklan produk-produk yang mempermudah hidup manusia, di waktu konsumerisme dan affluenza menjadi pandemik yang menyebar begitu cepat, aku berharap engkau berdiri melawan. Tapi, yang kudapati adalah malahan engkau yang terseret ke dalamnya. Engkau memperkaya dirimu, engkau membeli segala sesuatu untuk memperindah penampilanmu. Engkau pikir itu akan menarik banyak orang datang kepadamu.
Engkau menawarkan kenyamanan, engkau mengiklankan dirimu seperti produk-produk di luar sana. Engkau katakan bahwa dengan menjadi sahabatmu, orang juga akan mendapatkan kekayaan dan kemakmuran yang sama. Bukannya melawan keinginan dunia, keinginan mata, dan keangkuhan hidup; engkau malahan menggunakannya sebagai senjata untuk menarik lebih banyak orang datang kepadamu. Di titik ini, aku sudah sukar memanggilmu dengan nama yang dulu begitu kusukai, panggilan kesayangan yang diberikan kepadamu … gereja. Aku mulai meragukan apakah engkau masih layak menyandang nama itu.
Ketika orang semakin banyak datang kepadamu, berbondong-bondong mengagumimu, engkau menyadari ada segelintir orang yang menjauh darimu. Mereka pergi kepada saudara-saudaramu yang lain, mereka lebih tertarik kepada gereja-gereja yang lain. Engkau meradang, dalam amarahmu engkau berkata, “gugur satu, tumbuh seribu; pergi satu, akan datang ribuan”.
Lalu engkau memasuki sebuah kompetisi yang tidak seharusnya engkau ikuti. Daripada memerangi musuh yang sesungguhnya, engkau lebih senang berkompetisi dengan saudara-saudaramu yang lain. Jika ada yang pergi kepada saudaramu, engkau akan mengambil dari saudaramu yang lain. Bukannya memenangkan jiwa, engkau lebih banyak memindahkan jiwa, engkau hanya memindahkan ikan dari perahu saudaramu ke dalam perahumu. Yang selalu engkau pikirkan adalah apakah engkau lebih besar daripada saudaramu yang lain. Bagi engkau, “lebih dari pemenang” itu menjadi punya makna yang berbeda.
Aku mendengar bahwa banyak orang coba menasihati engkau, mereka berusaha menyadarkan engkau, tetapi sayangnya engkau mengacuhkan mereka, bahkan mereka yang berusaha mengatakan kebenaran engkau singkirkan. Mata yang dulu gemar menyelidiki kebenaran, telinga yang dulu selalu senang mendengarkan kebenaran, sekarang tidak lagi kutemui di dalam dirimu.
Apakah engkau sudah benar-benar mati? Apakah benar engkau yang terbaring di peti itu? Aku masih berharap engkau hanya mati suri. Aku berharap tangisan dan kasih orang-orang di sekitarmu ini akan menghidupkan engkau kembali. Bangunlah! … Bangkitlah! … Hiduplah! Kembalilah kepada engkau yang dulu kukenal.
Dalam kasih,
sahabat yang senantiasa mengasihimu
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Ini cerita tentang “sahabatku”….
Sampai sekarang masih mati suri
Masih juga ada di dalam peti
yang mengunjunginya silih berganti
Pengunjungnya tak peduli atau tak
mengerti
Entah dia hidup atau mati
Mereka hadir hanya untuk presensi
Bayar hutang seminggu sekali
Pengunjung mungkin juga orang-orang
mati
Mendengar “pengajaran” masuk-keluar
lagi
Ada makna atau tidak mana peduli
Apalagi untuk bertekad merubah diri
Para yang dituakan dan para staf akhli
Kalau ada keluhan anehnya tak berani
Diam lebih aman daripada mengkritisi
Bisa-bisa dicap sesat dan
didiskriminasi
Ah…. keluhanku ini
Tapi gemas dan gentar ini tak bisa kusudahi
Sampai kapan sahabatku sadar lagi
Penghalangnya adalah rasa “aku orang yang rohani”