Ini fakta yang memang terjadi – paling tidak di gereja saya – sepanjang saya menjadi pradhata di sebuah gereja suku sejak 2019-2022 ini. Kapitan Pattimura ini sudah sangat jarang hadir di gereja.
Jadi, salah satu tugas pradhata – kalau di gereja lain lebih dikenal dengan istilah majelis – di gereja kami ini adalah menghitung persembahan di setiap akhir kebaktian. Nah, sepanjang 3 tahun ini, saya menemukan bahwa kehadiran Kapitan Pattimura — dalam bentuk uang seribuan — sudah sangat jarang. Hampir bisa dipastikan setiap kebaktian kami menemukan kurang dari lima ribu rupiah dalam bentuk satuan Kapitan Pattimura.
Ini berita menggembirakan tentu saja. Dalam analisis saya yang tidak sahih dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, hal ini bisa saja disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tingkat kesejahteraan ekonomi jemaat sudah menjadi lebih baik. Jangan tanya satuan uang berapa yang kuantitasnya paling banyak. Pokoknya di atas Kapitan Pattimura. Kedua, jemaat gereja memilih mengirimkan persembahan melalui dompet digital atau transfer Bank. Pembatasan kegiatan di gereja selama masa pandemi Covid-19 memang akhirnya memaksa gereja untuk bergeser ke ranah digital termasuk dalam hal persembahan. Eh, tapi jangan salah, banyak gereja besar bahkan sebelum masa pandemi sudah memasang EDC untuk mengumpulkan persembahan.
Apakah jarangnya Kapitan Pattimura hadir di gereja karena pahlawan yang punya nama asli Thomas Matulessy ini ternyata memang bukan orang Kristen ya? Kalau memang Sang Pattimura itu beragama Kristen, kenapa sih fotonya tidak sedang mendekap Alkitab? Tidak tahu juga sih mengapa mengapa waktu itu Curis Latuputty menggambar Pattimura dengan membawa golok.
Saya mengenal nama Thomas Matulessy ketika orang tua saya membelikan buku-buku seri Pahlawan di masa awal SD. Dari buku ini pula saya mengenal nama Anthoni Rhebok dan Martha Christina Tiahahu. Waktu itu saya jadi tahu ada pulau di Indonesia yang bernama Saparua dan untuk pertama kalinya mendengar tentang benteng Duurstede.
Tetapi seingat saya, belum pernah saya temukan di buku-buku ada cerita sebelum berangkat perang Pattimura mengutip ayat ini, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Atau saat akan menyerbu benteng Duurstede, dia berseru seperti Gideon, “Pedang demi TUHAN dan demi Pattimura”. Saya kok tidak bisa membayangkan hal itu.
Tidak bisakah kita melihat Pattimura sebagai sosok orang yang sudah memberikan hidupnya, bahkan menyerahkan nyawanya, untuk membela tanah airnya tanpa melihat agamanya. Entah apapun agama dari Kapitan Pattimura, yang saya yakin, pastilah beliau orang yang saleh. Karena tidak ada orang yang saleh yang tidak mencintai tanah airnya.
=======<0>=======
Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.