Benar, semenjak pandemi Covid-19 ini, saya memang melarang istri dan anak saya berkebaktian di gereja. Anak saya yang selama ini ikut Sekolah Minggu juga saya larang. Memang di awal pandemi, semua kebaktian di gereja ditiadakan dan pada waktu kebaktian di gereja diizinkan, saya tetap melarang istri dan anak saya.
Istri tidak protes, bukan karena istri harus tunduk pada suami lho ya. Istri saya sangat bisa memahami dan menyetujui keputusan saya. Meski saya tahu banyak orang mungkin tidak setuju. Bagi saya kesehatan dan keselamatan jauh lebih penting dari kebaktian di gereja. Saya cukup beruntung, anak saya juga tidak rewel. Meskipun Sekolah Minggunya di dekat rumah, dan lihat teman-temannya datang Sekolah Minggu, dia lebih memilih menyanyi dengan orang tuanya di rumah. Apalagi ternyata Tuhan memberikan anugerah kepada kami, istri hamil, dan tanpa melalui program kehamilan.
Kebetulan gereja di mana kami berkebaktian menetapkan aturan-aturan yang tegas berkaitan dengan kebaktian di gereja selama masa pandemi. Salah satunya adalah batasan usia bagi jemaat yang akan mengikuti kebaktian di gereja. Anak-anak di bawah usia 17 tahun dan orang dewasa di atas 60 tahun benar-benar tidak boleh mengikuti kebaktian di gereja. Selain itu, wanita yang sedang hamil juga tidak boleh berkebaktian di gereja.
Seandainya tidak ada aturan semacam ini, saya tetap melarang istri dan anak saya berkebaktian di gereja. Alasan saya sederhana sebenarnya:
- Saya tidak punya obat untuk Covid-19
- Saya tidak punya solusi untuk masalah-masalah selama pandemi ini
Maka, paling tidak saya harus mengusahakan supaya saya dan keluarga tetap sehat selama pandemi ini. Selain itu saya masih tetap berpendapat bahwa kontribusi terbaik yang bisa diberikan gereja selama masa pandemi ini adalah dengan meniadakan kebaktian.
Saya bersyukur, jemaat kami punya kesadaran kesehatan yang tinggi. Meski ada kebaktian di gereja, kehadiran jemaat tidak pernah mencapai angka 100 orang. Ini batas jumlah jemaat yang diizinkan oleh Satgas Covid kota kami, melihat ukuran gedung gereja kami.
Bukankah kebaktian di gereja adalah hak asasi jemaat? Benar. Begini, kalau gereja membiarkan jemaat berhadapan dengan kemungkinan terpapar virus, apakah itu gereja yang mengasihi jiwa-jiwa. Bayangkan ini, gedung gereja tidak besar, semua jemaat tanpa pandang usia boleh berkebaktian, hanya pakai face-shield, bahkan banyak yang tidak pakai.
Jelas ada yang terganggu dengan pola pikir saya ini. Banyak yang menganggap saya ini terlalu kuatir, terlalu takut, paranoid. Jawab saya: tidak peduli dengan semua omongan orang. Ini keluarga saya dan saya sangat mencintai anak dan istri saya.
Maaf saja, ini pendapat saya. Gereja yang tidak mempraktikan dan mengajarkan protokol kesehatan yang benar adalah gereja yang gagal.
Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia … [1]
Saya mengasihi keluarga saya. Jika saya tidak memakai masker, jika saya tidak menjaga jarak, jika saya tidak mencuci tangan, dan jika saya tidak melarang anak dan istri saya berkebaktian di gereja, itu artinya saya sedang berbuat jahat kepada mereka.
=======<0>=======
Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
- [1]Roma 13:10)↩