Asumsi kita bisa mencelakakan orang lain

Mari membaca sejenak sepenggal catatan Alkitab berikut:

Lalu Abraham berangkat dari situ ke Tanah Negeb dan ia menetap antara Kadesh dan Syur. Ia tinggal di Gerar sebagai orang asing. Oleh karena Abraham telah mengatakan tentang Sara, isterinya: “Dia saudaraku,” maka Abimelekh, raja Gerar, menyuruh mengambil Sara. Tetapi pada waktu malam Allah datang kepada Abimelekh dalam suatu mimpi serta berfirman kepadanya: “Engkau harus mati oleh karena perempuan yang telah kauambil itu; sebab ia sudah bersuami.” Adapun Abimelekh belum menghampiri Sara. Berkatalah ia: “Tuhan! Apakah Engkau membunuh bangsa yang tak bersalah? Bukankah orang itu sendiri mengatakan kepadaku: Dia saudaraku? Dan perempuan itu sendiri telah mengatakan: Ia saudaraku. Jadi hal ini kulakukan dengan hati yang tulus dan dengan tangan yang suci.” Lalu berfirmanlah Allah kepadanya dalam mimpi: “Aku tahu juga, bahwa engkau telah melakukan hal itu dengan hati yang tulus, maka Akupun telah mencegah engkau untuk berbuat dosa terhadap Aku; sebab itu Aku tidak membiarkan engkau menjamah dia. Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi; ia akan berdoa untuk engkau, maka engkau tetap hidup; tetapi jika engkau tidak mengembalikan dia, ketahuilah, engkau pasti mati, engkau dan semua orang yang bersama-sama dengan engkau.” Keesokan harinya pagi-pagi Abimelekh memanggil semua hambanya dan memberitahukan seluruh peristiwa itu kepada mereka, lalu sangat takutlah orang-orang itu. Kemudian Abimelekh memanggil Abraham dan berkata kepadanya: “Perbuatan apakah yang kaulakukan ini terhadap kami, dan kesalahan apakah yang kulakukan terhadap engkau, sehingga engkau mendatangkan dosa besar atas diriku dan kerajaanku? Engkau telah berbuat hal-hal yang tidak patut kepadaku.” Lagi kata Abimelekh kepada Abraham: “Apakah maksudmu, maka engkau melakukan hal ini?” Lalu Abraham berkata: “Aku berpikir: Takut akan Allah tidak ada di tempat ini; tentulah aku akan dibunuh karena isteriku. Lagipula ia benar-benar saudaraku, anak ayahku, hanya bukan anak ibuku, tetapi kemudian ia menjadi isteriku. Ketika Allah menyuruh aku mengembara keluar dari rumah ayahku, berkatalah aku kepada isteriku: Tunjukkanlah kasihmu kepadaku, yakni: katakanlah tentang aku di tiap-tiap tempat di mana kita tiba: Ia saudaraku.” Kemudian Abimelekh mengambil kambing domba dan lembu sapi, hamba laki-laki dan perempuan, lalu memberikan semuanya itu kepada Abraham; Sara, isteri Abraham, juga dikembalikannya kepadanya. Dan Abimelekh berkata: “Negeriku ini terbuka untuk engkau; menetaplah, di mana engkau suka.” Lalu katanya kepada Sara: “Telah kuberikan kepada saudaramu seribu syikal perak, itulah bukti kesucianmu bagi semua orang yang bersama-sama dengan engkau. Maka dalam segala hal engkau dibenarkan.” Lalu Abraham berdoa kepada Allah, dan Allah menyembuhkan Abimelekh dan isterinya dan budak-budaknya perempuan, sehingga mereka melahirkan anak. Sebab tadinya TUHAN telah menutup kandungan setiap perempuan di istana Abimelekh karena Sara, isteri Abraham itu.[1]

Kita bisa membayangkan keterkejutan Abimelekh, ketika tiba-tiba datang firman kepada-Nya, “Engkau harus mati!” Merasa tidak melakukan hal yang salah, Abimelekh berargumentasi dengan TUHAN. Yang patut disyukuri oleh Abimelekh adalah firman itu datang sebagai peringatan bahwa Allah masih berkenan melindunginya.

Kalau kita teliti, ada pembelaan Allah untuk Abraham, tetapi juga ada pembelaan-Nya untuk Abimelekh. Tuhan melihat ketulusan hati Abimelekh. Bagi, saya ujung pangkal masalah ini ada pada ketakutan Abraham.

Lalu Abraham berkata: “Aku berpikir: Takut akan Allah tidak ada di tempat ini; tentulah aku akan dibunuh karena isteriku.[2]

Abraham said, “I just assumed that there was no fear of God in this place and that they’d kill me to get my wife.[3]

Abraham memiliki asumsi tersendiri terhadap Abimelekh. Abraham meyakini pikirannya tentang Abimelekh adalah benar, dan karenanya membuat keputusan yang bisa saja mencelakakan Abimelekh. Dan asumsi Abraham adalah asumsi yang terkesan agamawi.

Seberapa sering kita membuat asumsi terhadap orang lain berdasarkan apa yang kita lihat? Ketika kita melihat mereka yang beribadah dengan gaya yang berbeda, kita memiliki asumsi sendiri. Ketika kita melihat orang yang berpenampilan berbeda, kita berasumsi atas hidup mereka. Ketika kita mendengarkan pengajaran pengkhotbah, tanpa berusaha menyelidikinya, kita langsung membuat asumsi atas diri mereka. Parahnya, prasangka-prasangka yang kita miliki hampir selalu mengatasnamakan Tuhan.

Mengapa kita tidak berusaha memandang orang lain dengan cara yang lebih baik. Menghilangkan asumsi dan prasangka, hanya karena mereka berbeda dengan kita. Lihat bagaimana Allah membela Abimelekh, lihat bagaimana Allah melihat ketulusan hatinya.

=======<0>=======

Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.

CC BY-NC-SA 4.0 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

  1. [1]Kejadian 20:1-18
  2. [2]Kejadian 20:11
  3. [3]Genesis 20:11 – The Message

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Captcha * Time limit is exhausted. Please reload CAPTCHA.