Dua puluh lima tahun yang lalu, tepatnya 4 November 1990, seorang pendeta dengan berani mempertaruhkan nyawanya untuk mengadakan misa di sebuah pemakaman di Albania. Pada tahun 1967, presiden negara itu, Enver Hoxha, telah menyatakan bahwa kekristenan di negara itu dipahuskan, dan memproklamirkan Albania sebagai negara ateis pertama di dunia. Kemarin, pada tanggal 4 November 2015, presiden Albania menjadi tuan rumah yang menjamu 145 pemimpin gereja dunia – dari Vatikan sampai Venezuela – yang selama tiga hari mengadakan pertemuan di Resurrection of Christ Orthodox Cathedral.
Konferensi ini membicarakan masalah utama yang dihadapi gereja secara global – diskriminasi, penganiayaan, dan pembantaian jutaan orang percaya yang hidup di negara-negara seperti Irak, Suriah, India, Pakistan, Kuba, Myanmar, Sudan, Iran, Algeria, Kenya, dan Nigeria.
Ini adalah momen bersejarah lebih dari sekedar pemilihan waktu dan tempatnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah gereja modern, para pemimpin dan perwakilan berbagai macam gereja – Orthodox, Katolik, Protestan, Injili, dan Pentakosta – berkumpul bersama untuk satu tujuan. Mengingat kebangkitan gereja di Albania, orang percaya di sana ingin menunjukkan solidaritas kepada sesama saudara yang menderita di Suriah, Irak, dan Nigeria, mengingatkan bahwa meskipun kekristenan dinyatakan telah mati, itu bukanlah akhir dari kisah, sama seperti kehidupan Tuhan Yesus.
“Kami berkumpul bersama karena diskriminasi, aniaya, dan pembantaian terhadap orang Kristen dan mereka dari iman yang berbeda meningkat karena faktor yang begitu kompleks.” Abad ini dipenuhi dengan kisah orang-orang beriman yang membayar pengabdian mereka kepada Kristus melalui penderitaan, siksa, dan kematian.
Salah satu tujuan dari pertemuan ini adalah, “untuk mendengar, belajar dan berdiri bersama dengan Gereja dan orang Kristen yang didiskriminasi dan dianiaya di dunia.” Mereka mengumpulkan para permimpin dan mendengarkan kesaksian dari orang-orang seperti Archbishop Katolik Suriah di Mosul, Basilios Georges Casmoussa.
Tentang kekejaman dan kerusakan yang disebabkan oleh ISIS, dikatakan, “Bukankah ini genosida terhadap orang-orang Kristen di Irak? Genosida bukan sekedar pembantaian secara fisik; sebuah pembantian yang sistematis terhadap ikatan sosial, terhadap budaya, terhadap sejarah, terhadap masa depan, terhadap keberadaannya di tanah leluhurnya. Orang-orang Kristen di lembah Ninewe menghadapi perampasan hak setiap harinya. Jika lembah Ninewe kosong dari orang-orang Kristen, maka kekristenan di Irak terancam punah.”
Dalam keputusan akhir pertemuan ini, semua peserta menyerukan solidaritas di antara Gereja yang mengalami diskriminasi, aniaya, dan pembinasaan. Beberapa keputusan yang diambil adalah sebagai berikut:
All churches to engage more in dialogue and co-operation with other faith communities, and be ‘as wise as serpents and innocent as doves’ (Matthew 10:16) by remaining vigilant, watchful and fearless in the face of discrimination and persecution.
All governments to respect and protect the freedom of religion or belief of all people as a fundamental human right. We also appeal to governments and international organizations to respect and protect Christians and all other people of goodwill from threats and violence committed in the name of religion. In addition, we ask them to work for peace and reconciliation, to seek the settlement of ongoing conflicts and to stop the flow of arms, especially to violators of human rights.
All media to report in an appropriate and unbiased way on violations of religious freedom, including the discrimination and persecution of Christians as well as of other faith communities.
Referensi:
http://www.worldwatchmonitor.org/
=======<0>=======
Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.