Tidak tahu apakah moody itu sejenis karakter atau bahkan mungkin semacam penyakit. Tetapi, saya rasa menghadapi orang yang moody juga bukanlah hal yang mudah. Mungkin juga saya sendiri juga termasuk kelompok orang moody dalam beberapa batasan 🙂 Mustinya hidup kita tidaklah ditentukan oleh mood kita. Meski saya juga harus jujur mengakui bahwa tidak mudah mengendalikan perasaan sendiri, malahan seringkali larut dalam perasaan.
Di masa kanak-kanak dulu ada istilah yang cukup terkenal WWJD, “what would Jesus do”. Ketika situasi tidak sesuai dengan keinginan kita, saat gesekan-gesekan dari orang-orang di sekitar kita mulai terasa tidak nyaman, mengganggu, dan bahkan menyakitkan, pertanyaan inilah yang seharusnya muncul, “What would Jesus do?”
Ingat, sebagai manusia Kristus Yesus tidak pernah lepas dari perasaan dan emosi.
Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. [1]
For we do not have a high priest who is unable to sympathize with our weaknesses. Instead, we have one who in every respect has been tempted as we are, yet he never sinned. [2]
We don’t have a priest who is out of touch with our reality. He’s been through weakness and testing, experienced it all – all but the sin.[3]
Tentu saja prinsip WWJD bukanlah sebuah tebak-tebakan. Kita tidak bisa berkata, “Kalau Yesus ada diperhadapkan dengan situasi macam ini, apa yang kira-kira Dia lakukan ya?” Kalau demikian, maka yang kita kerjakan hanya sekedar menebak tanpa arah.
Kita hanya bisa menjawab WWJD jika kita memiliki pikiran dan perasaan Kristus.
Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus [4]
The attitude you should have is the one that Christ Jesus had [5]
Sayangnya banyak khotbah berhenti sampai di sisi. Kita dibuat bingung dan bertanya-tanya, sebenarnya yang seperti apa pikiran dan perasaan Kristus itu. Kalau saja kita mau belajar sedikit lebih banyak, Alkitab sudah memberikan penjelasan yang terang.
He had equal status with God but didn’t think so much of himself that he had to cling to the advantages of that status no matter what. Not at all. When the time came, he set aside the privileges of deity and took on the status of a slave, became human! Having become human, he stayed human. It was an incredibly humbling process. He didn’t claim special privileges. Instead, he lived a selfless, obedient life and then died a selfless, obedient death – and the worst kind of death at that: a crucifixion.[6]
Apa itu pikiran dan perasaan Kristus?
Pertama, sikap mengosongkan diri – dalam bahasa saya, melepaskan hak-hak kita. Jujurlah pada diri kita sendiri, yang seringkali membuat kita dikendalikan oleh perasaan kita adalah saat orang-orang atau keadaan mulai menyenggol apa yang kita pegang kuat sebagai hak milik kita. Perhatikan tulisan di atas, sebuah teladan yang luar biasa dari Tuhan kita “He set aside the privileges of deity …. He didn’t claim special privileges”.
Kedua, sikap merendahkan diri. Sampai di mana harus merendahkan diri? Ini sudah sampai diinjak-injak begitu hina. Bisa jadi demikian, tetapi coba bayangkan sejauh apa Tuhan Yesus merendahkan diri-Nya. Dari posisi Surga dengan segala ke-mahaan-Nya, menjadi manusia yang fana. Tidak mudah memang merendahkan hati seperti Kristus. Kerendahan hati adalah satu-satunya hal yang langsung hilang seketika saat kita merasa bahwa kita memilikinya.
Jadi, bagaimana menjadi tuan atas mood kita? Milikilah pikiran dan perasaan Kristus. Yang mana? Melepaskan hak dan merendahkan diri. TUHAN Yesus memberkati.
=======<0>=======
Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.