Kontribusi terbaik gereja dalam pandemi Covid-19 adalah meniadakan kebaktian

Dalam suasana pandemi seperti ini, benar bahwa gereja harus mewujud sebagai terang dan garam. Saya sudah melihat banyak pelayanan (kontribusi) yang diberikan oleh gereja-gereja kepada masyarakat dalam kondisi ini melewati batas-batas agama. Sangat baik dan layak mendapat apresiasi. Sementara itu, menurut pendapat saya kontribusi terbaik yang bisa dilakukan gereja dalam pandemi ini adalah meniadakan segala bentuk kebaktian dan kegiatan yang melibatkan kerumunan orang.

Mengapa? Kebaktian dan hampir semua bentuk pelayanan gereja itu akan mengganggu prinsip jaga jarak fisik yang merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam menanggulangi pandemi Covid-19 ini. Saya berikan contoh konkrit yang saya ambil dari The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/academia/2020/04/17/keep-a-distance-learning-from-covid-19-outbreak-at-chinese-mall.html

Pada tanggal 20 Januari 2020, seorang karyawan (pasien 1) di sebuah mall di Wenzhou, Tiongkok dirawat di sebuah rumah sakit setelah 11 hari mengalami demam dan sakit kepala. Satu hari kemudian, dia dan seorang kawannya (pasien 2) dikonfirmasi positif Covid-19. Pihak kesehatan setempat melakukan pelacakan dan pengetesan kepada teman-teman karyawan di mall itu, dan pada 28 Januari 2020, lima orang (pasien 3-7) yang bekerja di kantor yang sama di lantai 7 mall itu dikonfirmasi positif.

Pasien 3 yang merupakan kawan sekerja dari pasien 1 dan 2 adalah satu-satunya orang yang memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan. Dia kembali dari Wuhan satu bulan sebelum didiagnosa positif. Pernah demam pada tanggal 15-16 Januari, tetapi sembuh dengan sendirinya.

Tujuh pekerja kantor dari lantai yang berbeda dan 10 pengunjung mall juga positif Covid-19. Kontak-kontak terdekat juga dites positif sejumlah 11 orang lainnya.

Selain mereka yang bekerja di lantai 7, semuanya mengaku tidak pernah melakukan kontak dengan pasien positif lainnya. Sementara mereka menceritakan mengalami gejala di waktu yang berdekatan, menunjukkan bahwa mereka tertular kurang lebih di rentang waktu yang sama. Meskipun tidak ada kontak satu dengan yang lain, tetapi mereka semua menggunakan fasilitas umum yang sama (toilet, lift, tangga berjalan, dll.), belum lagi kenyataan bahwa pasien pekerja di lantai 7 secara rutin mengunjungi lantai-lantai lainnya.

Sikap sigap dari pemerintah setempat untuk menutup mall dua hari setelah deteksi positif pasien 1 mencegah penularan dan penyebaran lebih lanjut, meski hitungan total resminya ada 35 orang tertular dari klaster ini.

Sekarang bayangkan kondisi semacam ini. Sebuah gedung gereja yang bisa memuat 500 orang, tetap mengadakan kebaktian di tengah suasana pandemi ini. Diatur jarak duduk satu meter antara satu kursi dengan kursi lainnya. Pertanyaannya:

Pertama, apakah yang akan hadir di kebaktian ada dalam hitungan puluhan jemaat atau ratusan jemaat? Ayolah mau Anda gereja tradisional ataupun gereja modern, selalu ada orang-orang Kristen yang berpendapat bahwa kebaktian di gereja hari Minggu itu wajib.

Eh, bukan hanya jemaat lho, banyak pemimpin gereja yang ngotot tetap mengadakan kebaktian. Kalau tidak percaya, silakan tanya betapa susahnya rapat pengurus gereja memutuskan akan meniadakan kebaktian atau tetap ada kebaktian.

Salah satu sahabat saya cerita, dia disebut bodoh dan tidak beriman oleh pemimpin gerejanya karena mengambil keputusan tidak akan datang ke gereja selama masa pandemi.

Pertanyaan kedua. Seperti kasus klaster mall di Wenzhou, kalaupun selama kebaktian tidak ada kontak fisik antara satu dengan yang lain, apakah bisa dipastikan tidak ada penyebaran dan penularan?

Mengapa menulis ini? Karena ada gereja-gereja yang masih ngotot mengadakan kebaktian! Lah, bukannya banyak tempat ibadah lain yang masih melangsungkan ibadah di tengah pandemi? Saya tidak berhak berpendapat tentang hal itu. Tentang gereja, sebagai orang Kristen, saya harus bersuara kepada gereja.

=======<0>=======

Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.

CC BY-NC-SA 4.0 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Captcha * Time limit is exhausted. Please reload CAPTCHA.