Pantesan badan bisa segitu! Mungkin begitu komentar yang muncul saat membaca judul tulisan ini.
Salah satu hal yang membuat saya sangat tidak nyaman adalah mendengar celotehan orang yang berkata, “Makanannya tidak enak”, “Masakannya kurang ini kurang itu”, karena produk akhir yang dihasilkan dari keluhan macam ini adalah sisa makanan yang terbuang. Kalau sudah dengar komentar negatif macam ini, sakjané yo péngin ngruwes lambéné.
Saya mengajari Prisha dan Kinan untuk selalu mengatakan enak atas makanan yang dimasak Bubunnya. Woh, jadi tidak jujur kan? Bukan. Yang pertama, mengatakan enak itu mengajari mereka untuk bersyukur atas makanan yang mereka makan. Baru kemudian – di depan Bundanya – harus di depan Bundanya, saya akan bertanya, “terlalu asin? sudah empuk? kurang apa?”. Di depan Bubunnya, mereka akan jujur mengemukakan pendapatnya.
Masuk mobil dari rumah makan, langsung komentar kalau makanannya kurang ini, kurang itu, itu bagi saya memang orang yang mengeluh yang bermasalah. Belum tentu juga bisa memasak makanan yang baru saja dimakan kok seenaknya berkomentar. Pun bukan di depan koki atau juru masaknya toh.
Lagian enak tidak enak itu soal selera kan. Oh di sana ada rumah makan yang terkenal enak dan dipuji banyak orang. Tetapi, saya yakin dari seribu pengunjung, akan ada satu orang yang mengatakan bahwa ada makanan di sana yang tidak enak.
Bukannya konsumen adalah raja? Benar! Tetapi kita bisa memilih apakah kita menjadi raja yang lalim atau raja yang alim. Masalah utama dari keluhan macam ini adalah kurangnya rasa syukur.
Kembali ke perkara sisa makanan. Menurut Food Waste Index Report 2021 yang dikeluarkan UN Environment Programme (UNEP), Indonesia diestimasikan menjadi penghasil sampah makanan paling besar di Asia Tenggara. UNEP memperkirakan bahwa setiap tahunnya, Indonesia menghasilkan 20,9 juta ton sampah makanan. Sementara jika merujuk temuan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2021, FLW (food loss and waste) Indonesia sebesar 23-48 juta ton/tahun antara tahun 2000-2019. Kalau ini dikalkulasi dengan data konsumsi perkapita, maka setiap orang Indonesia rata-rata melakukan pemborosan makanan sebesar Rp. 2,1 juta pertahun.
Ini kontradiktif dengan fakta bahwa di tahun 2022 – menurut data Global Hunger Index – Indonesia masuk peringkat 77 dari 121 negara dengan skor 17,9 dengan tingkat kelaparan menengah.
Dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di tahuan 2018 tercatat ada 13,8 persen balita di Indonesia yang mengalami kurang gizi, sementara 3,9 persen tercatat menderita gizi buruk. Ini artinya 17,7 persen balita di Indonesia punya masalah gizi.
Bappenas juga menyoroti kerugian dari sampah makanan dengan masalah kelaparan ini. Timbunan sampah makanan yang mencapai 23- 48 juta ton per tahun diestimasikan dapat memberi makan bagi 61-125 juta warga Indonesia pada periode waktu tersebut. Setara 29-47 % populasi Indonesia. Terdapat 45,7 persen orang defisit gizi di Indonesia. Artinya jika bisa dicegah menjadi sampah makanan, kebutuhan dari defisit gizi memiliki potensi untuk terpenuhi. (Sumber: https://tirto.id/tumpukan-sampah-makanan-indonesia-tertinggi-di-asia-tenggara-gxxL)
Bagi saya, kurangnya rasa syukur, membuat kita seenaknya menyisakan makanan. Kita sering lupa bahwa untuk sampai di piring makan kita, makanan yang kita makan itu melalui proses yang melibatkan banyak orang. Ketika kita menyisakan makanan, kita sedang lupa berterima kasih kepada para petani, kepada para peternak, kepada para perajin makanan, kepada para penjual di pasar, dan daftar ini bisa diteruskan sampai sebanyak mungkin. Kita sering lupa ada kerja keras dan jerih lelah banyak orang untuk makanan ini bisa kita makan.
Kedua, hilangnya rasa cukup. Bahasa kasarnya, rakus. Bayangkan ini, ambil nasi, tahu lima, siram dengan sayur, ambil kerupuk karak satu cengkeraman penuh tangan, taruh di atas kuah. Habis semua? Akhirnya tahu dan kerupuk yang sudah terlanjur kena kuah dan sayur ini kemana? Dibuang kan? Apa sih susahnya ambil satu atau dua, kurang ambil lagi.
Ketiga. Memang kita ini sudah kehilangan empati. Baca ulang data dan fakta di atas. Dengan sisa makanan yang kita buang, seandainya bisa dicegah, itu bisa menghidupi mereka yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Psikopat adalah istilah yang tepat ketika kita tahu ada tetangga yang kesulitan makan, sementara kita seenaknya menyisakan dan membuang makanan.
Sekali lagi, enak atau tidak enak itu kan urusan selera. Bagi saya, enak itu urusan ke sekian. Bagi saya, yang penting kenyang. Enak itu yang dibedakan oleh 25 ribu atau 10 ribu, tetapi kenyangnya sama kan.
=======<0>=======
Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.